Ibu... kaulah, wanita yang mulia, derajatmu... tiga tingkat dibanding ayah... kau mengandung, melahirkan, menyusui mengasuh, dan merawat, lalu membesarkan putra-putrimu ibu...
Lautan kasih sayang, pada setiap insan, mataharinya alam, sebagai perumpamaan, dunia, isinya, sebagai balasan ibumu melahirkan, doanya terkabulkan, keramat didunia, kutuknya kenyataan, jangan coba durhaka, surganya Tuhamu dibawah kakinya, ridhonya ibumu, rodho tuhan jua marilah berbakti pada ibunda ...............
Deretan sebait lagu qasidah diatas, sesungguhnya hanya penggalan kata-kata usang yang setiap hari kita temui, kita baca, kita nyanyikan, kita dendangkan, kita dengarkan, tapi sudahkah kita menyimak dalam-dalam kata demi kata, untaian kalimat demi kalimat yang dirangkai sangat indah menusuk jantung itu. Lalu kita wujudkan dalam sikap dan perilaku kita terhadap sang bunda yang yang dikaryakan secara maha sempurna oleh sang arsitek ilahi sebagai makhluk yang memiliki rahim sebagai tempat persemaian suci bagi sang anak manusia ?.. Tulisan ini sengaja penulis rangkai berkenaan dengan hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2010. Kita setiap tahun memperingati lahirnya kartini, sang pejuang perempuan yang gagah perkasa berjuang dizamannya mempertahakan eksistensi serta harkat dan martabat kaum hawa.
Sebagai penghargaan sekaligus penghormatan saya yang maha tinggi kepada kaum perempuan, alangkah lebih santunnya saya menyapa mereka dengan ibunda sebutan untuk kaum perempuan,Red). Tidak bermaksud memuja-muja kaum perempuan, tetapi mereka memang sepantansnya mendapat penghargaan, karena mereka telah merelakan jiwa dan raga mereka, demi nyawa anak manusia yang diproduksi dari dalam rahim suci sang bunda, sebuah perjuangan suci dengan taruhan jiwa dan raga. Karena kelebihannya itulah sang ilahi mendapuknya dengan gelar derajat lebih tinggi tiga tingkat dibading kaum laki-laki, dan saya kira tak ada yang protes soal yang satu ini, termasuk juga surga dibawah telapaknya. Meskipun tugas dan beban tanggungjawab yang diamanahkan secara alamiyah dipundaknya, namun realitas kekitaan kita menunjukan sesuatu yang sangat ironis dimana para bunda selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. persoalannya terkadang sepele, mulai dari masalah ekonomi keluarga, status sosial serta hal lainnya. Bagi mereka yang sudah beristri dan pernah mendampingi istri hendak melahirkan apakah di rumah sakit, di rumah, di puskesmas, rasanya tak cukup dengan mencium kening sang bunda karena bisa melahirkan dengan normal. karena perjuangan saat melahirkan kita anak manusia adalah pertarungan hidup mati (jihad). Tak cukup dengan belaian, ciuman, tapi yang paling penting dari pelajaran itu adalah, sang bunda memiliki beban yang tak kalah ringannya dan secara kodrati yang tak bisa dibagikan kepada kaum laki-laki (hamil, melahirkan,red) . Sejak sang janin bersemai didalam rahim sucinya, dia tak pernah merengek, mengeluh, tapi dinikmati sebagai sebuah karunia yang luar biasa sampai dilahirkan, dipelihara sampai dewasa. Tapi sudahkah kita yang dilahirkan dan dipelihara sampai dewasa bersyukur kepada sang bunda ?
Melalui momentum peringatan Hari Kartini ini penulis mencoba menggugah kita semua untuk merefleksi kembali keberadaan kita di maya pana ini yang tak lain berawal dari rahim suci sang bunda. Bagi yang masih memiliki orang tua, peliharalah mereka, kasihanilah mereka, sebagaimana mereka telah mengasihani kita diwaktu kecil, sampai waktunya mereka di panggil sang ilahi...jagalah mereka dengan penuh cinta kasih sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Di pihak lain, faktor budaya patriarkal kita juga masih menomorduakan kaum perempuan. padahal semestinya antara perempuan dan laki-laki adalah setara, tak ada perbedaan kecuali yang bersifat kodrati. Mari kita sanyang bunda kita, kartini kita yang telah susah payah memelihara kita hingga dewasa........Selamat hari Kartini 21 April 2010....
Lautan kasih sayang, pada setiap insan, mataharinya alam, sebagai perumpamaan, dunia, isinya, sebagai balasan ibumu melahirkan, doanya terkabulkan, keramat didunia, kutuknya kenyataan, jangan coba durhaka, surganya Tuhamu dibawah kakinya, ridhonya ibumu, rodho tuhan jua marilah berbakti pada ibunda ...............
Deretan sebait lagu qasidah diatas, sesungguhnya hanya penggalan kata-kata usang yang setiap hari kita temui, kita baca, kita nyanyikan, kita dendangkan, kita dengarkan, tapi sudahkah kita menyimak dalam-dalam kata demi kata, untaian kalimat demi kalimat yang dirangkai sangat indah menusuk jantung itu. Lalu kita wujudkan dalam sikap dan perilaku kita terhadap sang bunda yang yang dikaryakan secara maha sempurna oleh sang arsitek ilahi sebagai makhluk yang memiliki rahim sebagai tempat persemaian suci bagi sang anak manusia ?.. Tulisan ini sengaja penulis rangkai berkenaan dengan hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2010. Kita setiap tahun memperingati lahirnya kartini, sang pejuang perempuan yang gagah perkasa berjuang dizamannya mempertahakan eksistensi serta harkat dan martabat kaum hawa.
Sebagai penghargaan sekaligus penghormatan saya yang maha tinggi kepada kaum perempuan, alangkah lebih santunnya saya menyapa mereka dengan ibunda sebutan untuk kaum perempuan,Red). Tidak bermaksud memuja-muja kaum perempuan, tetapi mereka memang sepantansnya mendapat penghargaan, karena mereka telah merelakan jiwa dan raga mereka, demi nyawa anak manusia yang diproduksi dari dalam rahim suci sang bunda, sebuah perjuangan suci dengan taruhan jiwa dan raga. Karena kelebihannya itulah sang ilahi mendapuknya dengan gelar derajat lebih tinggi tiga tingkat dibading kaum laki-laki, dan saya kira tak ada yang protes soal yang satu ini, termasuk juga surga dibawah telapaknya. Meskipun tugas dan beban tanggungjawab yang diamanahkan secara alamiyah dipundaknya, namun realitas kekitaan kita menunjukan sesuatu yang sangat ironis dimana para bunda selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. persoalannya terkadang sepele, mulai dari masalah ekonomi keluarga, status sosial serta hal lainnya. Bagi mereka yang sudah beristri dan pernah mendampingi istri hendak melahirkan apakah di rumah sakit, di rumah, di puskesmas, rasanya tak cukup dengan mencium kening sang bunda karena bisa melahirkan dengan normal. karena perjuangan saat melahirkan kita anak manusia adalah pertarungan hidup mati (jihad). Tak cukup dengan belaian, ciuman, tapi yang paling penting dari pelajaran itu adalah, sang bunda memiliki beban yang tak kalah ringannya dan secara kodrati yang tak bisa dibagikan kepada kaum laki-laki (hamil, melahirkan,red) . Sejak sang janin bersemai didalam rahim sucinya, dia tak pernah merengek, mengeluh, tapi dinikmati sebagai sebuah karunia yang luar biasa sampai dilahirkan, dipelihara sampai dewasa. Tapi sudahkah kita yang dilahirkan dan dipelihara sampai dewasa bersyukur kepada sang bunda ?
Melalui momentum peringatan Hari Kartini ini penulis mencoba menggugah kita semua untuk merefleksi kembali keberadaan kita di maya pana ini yang tak lain berawal dari rahim suci sang bunda. Bagi yang masih memiliki orang tua, peliharalah mereka, kasihanilah mereka, sebagaimana mereka telah mengasihani kita diwaktu kecil, sampai waktunya mereka di panggil sang ilahi...jagalah mereka dengan penuh cinta kasih sebagai wujud kasih sayang terhadap mereka. Di pihak lain, faktor budaya patriarkal kita juga masih menomorduakan kaum perempuan. padahal semestinya antara perempuan dan laki-laki adalah setara, tak ada perbedaan kecuali yang bersifat kodrati. Mari kita sanyang bunda kita, kartini kita yang telah susah payah memelihara kita hingga dewasa........Selamat hari Kartini 21 April 2010....